Selamat Datang Di Website KUA Kecamatan Pasar Minggu, Kami Siap Melayani Anda Di Bidang Urusan Agama Islam !!! Kini Anda Bisa Mengunjungi Kami di www.kuapasarminggu.co.nr

8/13/2009

Peran Depag dalam Bingkai Nation State

Indonesia sering disebut sebagai nation state yang unik karena memiliki departemen pemerintah yang khusus menangani masalah kehidupan beragama. Pembentukan Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) pada 3 Januari 1946 atau lima bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Keputusan yang mengakomodasi aspirasi para pemimpin Islam tersebut semakin mempertegas bahwa agama merupakan elemen yang penting dan terkait secara fungsional dengan kehidupan bernegara.

Dalam perkembangan peradaban manusia, kehidupan bernegara sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari kehidupan beragama. Bahkan � sebagaimana diungkapkan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam pengantar buku Transformasi Dari Kantoor Voor Inlandsche Zaken Ke Kementerian dan Departemen Agama (M. Fuad Nasar, 2007) � di negara yang menganut pemisahan tegas antara negara dan agama (sekularisme), selalu terdapat pengaturan atau tindakan negara yang terkait dengan urusan agama.

Belum lama ini penulis memperoleh hasil penelitian dan kajian tim Komnas HAM bekerjasama dengan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP). Menurut kajian tersebut, pembagian struktur, tugas, dan fungsi kelembagaan Departemen Agama yang selama ini berbasiskan pelayanan lima agama (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha) perlu ditinjau ulang. Diusulkan supaya dilakukan pembaharuan format kelembagaan Departemen Agama. Selain itu Departemen Agama dianggap diskriminatif dan tidak mampu menghormati dan melindungi kebebasan beragama secara maksimal.

Contoh kasus yang dikemukakan adalah diskriminasi birokrasi Departemen Agama terhadap pemeluk kepercayaan-kepercayaan lokal minoritas, seperti kepercayaan Karuhun Urang, Sedulur Sikep atau Agama Adam, jemaah Ahmadiyah, dan lain-lain. Selain itu Departemen Agama sebagai manifestasi negara dianggap tidak mampu melindungi kebebasan dan kehidupan beragama para pengikut aliran-aliran agama di luar mainstream.

Penulis tersentak membaca �kebebasan beragama� dalam UUD 1945 yang dipersepsikan mencakup kebebasan untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun. Persepsi tersebut jelas menyimpang dari makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila yang menegaskan Indonesia sebagai negara yang ber-Tuhan.

Kenapa Ada Departemen Agama

Para founding fathers negara kita lekas menyadari akan perlunya pengaturan dan kebijakan negara yang berkaitan dengan agama melalui suatu departemen khusus. Departemen Agama bukanlah departemen teknis yang dibentuk dan dapat dibubarkan sesuai kebutuhan. Keberadaan Departemen Agama memiliki legitimasi yang kuat dalam politik dan tatanan pemerintahan negara kita.

Departemen Agama dibentuk dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah untuk melaksanakan isi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Pasal tersebut berbunyi, ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Dalam UUD 1945 pasal 29 tercantum kalimat �agamanya dan kepercayaannya itu�. Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan penjelasan Bung Hatta bahwa kata-kata �itu� di belakang kata �kepercayaan� dalam pasal tersebut menunjukkan makna kesatuan di antara agama dengan kepercayaan. Jadi yang dimaksud adalah kepercayaan di dalam agama, bukan kepercayaan di luar agama. Dengan demikian tugas Departemen Agama adalah membina umat beragama sesuai yang digariskan UUD 1945. Prinsip fundamental dalam UUD 1945 mengamanatkan supaya ajaran dan nilai-nilai agama selalu berperan dan memberi arah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berkenaan dengan itu, dalam Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978 tentang Kebijakan Mengenai Aliran-Aliran Kepercayaan yang ditandatangani Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, antara lain ditegaskan bahwa Departemen Agama yang tugas pokoknya adalah melaksanakan sebagian tugas pemerintahan umum dalam pembangunan di bidang agama tidak akan mengurusi persoalan-persoalan aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama tersebut.

Moh. Slamat Anwar, tokoh senior Departemen Agama dan mantan Inspektur Jenderal yang banyak mencurahkan pemikiran tentang pewarisan nilai-nilai Departemen Agama mengatakan, �Misi Departemen Agama adalah mengagamakan bangsa. Tugas mengagamakan bangsa adalah usaha yang harus dilaksanakan di dalam rangka memelihara dan mengembangkan keberagamaan bangsa Indonesia, agar bangsa Indonesia tetap menjadi bangsa yang beragama sepanjang masa.�

Pada hemat penulis, kajian tim Komnas HAM dan ICRP mengenai pembaharuan format kelembagaan Departemen Agama dengan mengakomodasi aliran-aliran kepercayaan lokal dan aliran-aliran agama yang menyimpang, serta memecah susunan organisasi dan tata kerja bimbingan masyarakat beragama yang ada saat ini, adalah mengingkari dasar dan tujuan Departemen Agama.

Tidak Mencampuri Internal Agama

Keberadaan Departemen Agama adalah hasil perjuangan para tokoh Islam yang memandang bahwa eksistensi Departemen Agama diperlukan di dalam negara Republik Indonesia. Usulan pembentukan Kementerian Urusan Agama pertama kali diajukan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945, namun ditolak oleh sebagian besar anggota PPKI karena dianggap tidak sejalan dengan pemerintahan negara yang bercorak nasional.

Para tokoh Islam di antaranya KH Abu Dardiri, KH Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro kemudian memperjuangkan pembentukan Departemen Agama dalam sidang pleno BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) tanggal 25-27 November 1945. Usulan tersebut mendapat dukungan dari beberapa tokoh Islam anggota KNIP lainnya utusan partai Masyumi di antaranya Mohammad Natsir, Dr. Muwardi, Marzuki Mahdi dan M. Kartosudarmo, dan lain-lain.

Pembentukan Kementerian Agama mendapat persetujuan pemerintah secara aklamasi, dan selanjutnya diterbitkan Penetapan Pemerintah No 1/SD tanggal 3 Januari 1946 mengenai pembentukan Kementerian Agama dan mengangkat HM Rasjidi sebagai Menteri Agama yang pertama. HM Rasjidi sebelumnya dalam Kabinet RI Ke2 menjabat Menteri Negara. Sehari setelah pembentukan Kementerian Agama, Menteri Agama HM Rasjidi berpidato melalui RRI Yogyakarta, antara lain menegaskan bahwa berdirinya Kementerian Agama adalah untuk memelihara dan menjamin kepentingan agama-agama di Indonesia serta pemeluk-pemeluknya.

Berdirinya Departemen Agama, sebagaimana diungkapkan oleh R.M. Kafrawi (Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, 1953), ��. dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekuler dan Kristen tentang pemisahan gereja dengan negara, dan teori muslim tentang penyatuan antara keduanya. Jadi Kementerian Agama itu timbul dari formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka: sistem Islami dan sistem sekuler.�

Menanggapi kekhawatiran beberapa kalangan atas intervensi Departemen Agama dalam urusan internal agama, KHA Wahid Hasjim (Menteri Agama ke-8) menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh mencampuri urusan internal agama. Kalau pun negara harus terlibat dalam urusan agama, bukan dalam urusan isi agama, melainkan urusan-urusan yang bertalian dengan masyarakat. KHA Wahid Hasjim begitu gigih membela eksistensi Departemen Agama yang digugat oleh kalangan politisi nasionalis-sekuler di Parlemen tahun 1950-an.

Seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, kajian hukum dan syara� tentang kewenangan Departemen Agama dalam masalah intern agama pernah disusun oleh Z.A.Noeh, tokoh senior Departemen Agama dan Staf Ahli Menteri semasa Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa pemerintah dalam hal ini Departemen Agama memperoleh kewenangan untuk mencampuri urusan intern agama, yaitu sepanjang ajaran/keyakinan dari agama yang bersangkutan mengharuskannya.

Lapangan tugas Departemen Agama sejak awal ialah mengurus segala hal yang bersangkut paut dengan agama dalam arti seluas-luasnya. Bermula dengan struktur organisasi yang sederhana, dan kemudian berkembang sampai tingkat yang kompleks. Prof. KH Saifuddin Zuhri (Menteri Agama ke-12) mengatakan, dengan adanya Departemen Agama, maka kedudukan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia telah ditingkatkan dari soal pribadi masing-masing orang menjadi urusan yang diharuskan oleh negara untuk sekalian warga negaranya.

Dengan demikian, semua umat beragama mendapat jaminan untuk mengamalkan ajaran agamanya, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan, sehingga tercipta kehidupan yang baik di tengah masyarakat. Dewasa ini Departemen Agama mempunyai tiga peran strategis yaitu peningkatan pemahaman dan pengamalan agama, pembinaan kerukunan antar umat beragama, serta mengawal akhlak dan moral bangsa. Sebagian besar tugas dan peran yang dijalankan oleh Departemen Agama, ukuran keberhasilannya adalah ukuran kualitatif. Di sinilah beratnya tugas Departemen Agama dalam membimbing, melayani serta melindungi kehidupan beragama.

Dirgahayu Departemen Agama ke-62.

Oleh M. Fuad Nasar
Tim Kerja Dirjen Bimas Islam


Sumber : http://www.depag.go.id/index.php?a=artikel&id2=perandepagnationstate


Selengkapnya ...

Perkawinan di Bawah Umur Diberi Sanksi Pidana

Jakarta,3/2(Pinmas)--Departemen Agama sedang merancang UU Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan yang akan menghadang perkawinan di bawah umur dengan sanksi yang jelas.

"RUU ini lebih rinci daripada UU Perkawinan, khususnya tentang sanksi," kata Dirjen Bimas Islam Depag, Prof Dr Nasaruddin Umar seusai Konsultasi Nasional Hukum Keluarga Islam di Indonesia di Jakarta, Selasa.

Sanksi bagi pelaku perkawinan di bawah umur, urainya, mencapai Rp6 juta dan sanksi untuk penghulu yang mengawinkannya sebesar Rp12 juta dan kurungan tiga bulan.


Di pedesaan, lanjut dia, menikah di usia muda lumrah dilakukan, yang menampakkan kesederhanaan pola pikir masyarakatnya sehingga mengabaikan banyak aspek yang seharusnya menjadi syarat dari suatu perkawinan.

"Setelah menikah seorang gadis di desa sudah harus meninggalkan semua aktivitasnya dan hanya mengurusi rumah tangganya, begitu pula suaminya tidak lagi bisa berleha-leha karena harus mencari nafkah," katanya.

UU Perkawinan no 1 tahun 1974, ia menguraikan, menyebutkan laki-laki harus sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun untuk memasuki jenjang perkawinan, namun masih terbuka terjadinya pernikahan di bawah umur melalui dispensasi yang diberikan pengadilan atau pejabat lain.

Ia mencontohkan, di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, terjadi peningkatan angka perkawinan di bawah umur berdasarkan surat dispensasi perkawinan di bawah umur yang diajukan ke Pengadilan Agama Ponorogo.

"Pada 2007 rata-rata 15-19 surat diajukan per bulan, padahal sebelumnya rata-rata 1-3 surat saja per bulan. Jadi perkawinan di bawah umur meningkat 75 persen," katanya.

Akibat perkawinan di bawah umur, menurut dia, terjadi peningkatan angka perceraian atau banyaknya kasus kematian ibu saat melahirkan, selain itu perceraian juga menjadi pintu bagi masuknya tradisi baru yakni pelacuran.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bisa dibatalkan bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan pada Pasal 7 UU Perkawinan.

"Berdasarkan UU itu maka perkawinan di bawah umur masuk dalam kategori eksploatasi anak, karena seorang anak yang masih dalam asuhan orang tuanya seharusnya mendapatkan kesempatan belajar. Perkawinan di bawah umur jelas merampas hak anak itu," katanya.

Sementara itu, Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana mengatakan, RUU yang diajukan Depag tersebut saat ini sudah ditandatangani Presiden dan akan dibahas oleh DPR, namun ia menyayangkan, RUU tersebut sulit diakses oleh LSM. (ant/ts)
Sumber : http://www.depag.go.id/index.php?a=detilberita&id=3955


Selengkapnya ...

Copyright KUA Kec. Pasar Minggu 2009 - Modifikasi Template by Alwi dan x-template.blogspot.com | Support By : Dofollow Sosial Bookmark